Haloqoh Budaya

Term of Reference

 

HALAQOH BUDAYA DAN ORASI PUISI

REVITALISASI NILAI KEARIFAN LOKAL ;

RESPON PROBLEMATIKA ZAMAN

DALAM PERSPEKTIF BUDAYA

 

A. LATAR BELAKANG

Rakyat kecil sekarang ini sedang terjepit kegelisahan yang memuncak. Ruang ekspresi untuk menyalurkan kegelisahan rakyat kecil semakin sempit dan langka. Gedung pertunjukan dan diskusi kebudayaan hilang ditelan modernitas zaman.

Ekpresi kebudayaan dan kesenian warga kecil tak menemukan ruang leluasa dan merdeka. Ruang ekspresi untuk mendedahkan rasa seni yang membuncah dalam diri tak dapat dijumpai karena minimnya fasilitas. Anggaran bagi lembaga kesenian di setiap daerah hanya cukup untuk menyelenggarakan beberapa kegiatan kecil. Akibatnya, infrastruktur yang mendukung kegiatan kesenian dan kebudayaan di setiap daerah kurang memadai. Jangankan membangun gedung pertunjukan, membiayai kegiatan kesenian saja tertatih-tatih. Hal ini menjadi ironis, memingat kebudayaan sebenarnya menempati ruang penting dalam naskah sejarah bangsa ini.

Political will pemerintah tak menyentuh perbaikan fasilitas kesenian yang sangat dibutuhkan warga. Kesenian menjadi semakin terpinggirkan, karena miskinnya tanggung jawab pemerintah. Menurut Imam Cahyono (2006), Rezim penguasa dewasa ini menganut paradigma ala pedagang (corporatocracy). Yang menjadi fokus perhatian pemerintah hanya saldo neraca keuangan, meski rakyat dilanda berbagai bencana. Negara menjadikan rakyatnya penikmat segala barang produksi asing. Pemerintah tak mau repot mengurus warganya sehingga rakyat menjadi korban ulah negara (state neglect) yang tak terurus. Rakyat apatis dan hopeless terhada negara, rakyat harus berjuang sendiri untuk bertahan hidup dan tetap eksis. Biarpun rakyat haus akan tersedianya ruang kesenian yang memadai, pemerintah tak menganggapnya sebagai fokus perhatian.

Ruang kesenian rakyat yang semakin terpinggirkan, membuat kreatifitas kebudayaan warga semakin melemah. Rakyat kecil hanya menjadi penonton berbagai pertunjukan politik, kampanye pemilu dan drama kasus korupsi. Warga hanya menjadi penikmat tontonan yang disuguhkan televisi, tak ada kritik yang timbul atas berbagai persoalan bangsa, karena rakyat dibungkam oleh kekangan penguasa. Hal ini menjadikan warga sebagai kaum mayoritas diam (silent majority), yang tak mampu menyalurkan segala kegelisahan yang dirasakan. Maka tak heran, apabila rakyat kecil menumpahkan kegundahan melalui diskusi gayeng di warung kopi, demonstrasi di jalan-jalan, maupun luapan emosi di stadion sepak bola. Keinginan berekspresi yang tersumbat akan meluap di ruang-ruang publik dengan tanpa kontrol.

 

أضف تعليق